6:15 AM

Amarine Celia
3 min readJun 30, 2024

--

Pair: Lycaon x Alice

Tags: Canon x OC, Yume, OOC

Alice membuka mata pada suatu pagi yang dingin. Semalaman mungkin salju telah turun sampai udara bisa terasa serendah itu.

Untuk beberapa saat, atensi Alice dimiliki oleh langit-langit tinggi kamar dan suara kicau-kicau burung beserta larik tipis mentari yang menyelinap dari sela tirailah yang berhasil membangunkannya. Sang puan lantas beranjak, perlahan memulai paginya seperti hari yang lalu.

Langkah yang meniti; keluar kamar, menuju lorong, dan tangga menuju lantai satu, hingga ia terhenti di ruang utama tempat biasanya anggota Tata Graha Victoria berkumpul. Di sana, Alice hanya menemukan sosok Lycaon tengah duduk di sofa besar, membelakangi arah datangnya Alice. Sebagai sosok manusia serigala juga kepala pelayan dengan indranya yang terasah tajam, usaha Alice untuk datang mengendap-ngendap pun langsung terbongkar.

“Selamat pagi, Nona Alice. Anda sudah bangun?” Lycaon menghentikan sejenak aktivitas melilit tali kekang di sekitar lengan kekarnya sambil menolehkan kepala ke arah datangnya Alice.

Alice membuang napas kasar, sedikit jengkel. “Yah, gagal lagi. Padahal aku sudah bergerak tanpa suara.”

Merasakan kekecewaan dari nada bicara Alice, Lycaon terdiam sejenak, “Nona, bisa ulangi lagi? Saya tidak akan menoleh kali ini.”

Lycaon sebagaimana dasarnya seorang pelayan dan penyedia jasa untuk memenuhi segala permintaan tuannya, merasa perlu memenuhi kehendak Alice kali ini. Namun, Alice menyambut tawarannya dengan tawa. Lycaon yang kaku dapat berubah jadi terlalu naif jika berhadapan dengan Alice.

“Sudah tidak seru lagi, dong? Kan kamu sudah tahu.” Alice menarik senyum tipis. Sepasang manik biru Alice memerhatikan Lycaon yang masih belum lengkap mengenakan pakaian tugasnya. Bagian torso Lycaon hanya ditutupi sabuk-sabuk kekang yang melintang rapi meski begitu celana dan sepatu mekaniknya telah terpasang. “Sebagai gantinya … begini saja!”

Lycaon belum sempat bertanya ketika Alice sudah lebih dulu menerjangnya, menjatuhkan diri pada tubuh berbulunya, dan menenggelamkan wajahnya di sana tanpa ragu.

“Nona Alice — “

“Lembuuut~!”

Lycaon cukup terkejut tapi tidak menimbulkan riak yang nyata. Ia hanya merasa bingung saja karena mendadak sang nona memilih untuk jatuh dalam dekapannya.

Di sisi lain, Alice sedang menikmati waktunya. Tangannya mengusak-usak pada bulu halus Lycaon. Wangi sabun yang khas pun ikut menguar dan memanjakan indra penciuman Alice. Aroma maskulin namun tetap lembut dan hangat.

“Rasanya iri, deh.”

“Iri kenapa, Nona?”

“Kamu punya bulu-bulu sehalus ini. Rasanya iri. Aku juga mau punya,” Jelas Alice. “Pasti hangat, ya? Tidak perlu merasa kedinginan setiap musim dingin.”

“Benar, rasanya tetap terasa hangat untuk saya,” Tanggap Lycaon. “Tapi merawat bulu-bulu ini jelas bukan hal mudah juga, Nona. Saya perlu menyisirnya setiap saya memiliki kesempatan agar tidak kusut dan kumal. Belum lagi jika mereka rontok dan mengotori pakaian tugas saya, harus rajin saya bersihkan.”

Alice mengangkat kepalanya dari dada Lycaon dan menatap sosok tersebut, “Kedengarannya merepotkan. Aku hanya mau mempunyai bulu hangat dan halus.”

“Di balik keindahan itu tetap ada pengorbanannya, Nona.”

Napas panjang dihela kembali, “Kamu benar …”

“Tapi jika Nona Alice bersikeras tetap ingin merasakan bulu-bulu ini atau mungkin sedang merasa kedinginan, Nona bisa memanggil saya.”

“Memanggil kamu?”

Lycaon mengangguk singkat, “Iya, Nona. Nona dapat memanggil saya dan saya akan datang untuk memeluk Nona.”

Lycaon mengucapkan kalimatnya seolah tanpa beban. Tidak tahu jika pernyataannya berhasil membuat wajah sang nona merona.

“Wajah Nona tiba-tiba merah. Nona terkena demam?”

“Bukan, ya! Gara-gara kamu, tahu tidak?”

“Saya melakukan kesalahan apa lagi?”

“Pikirkan saja sendiri,” Tukas Alice yang kali ini menyembunyikan wajahnya kembali di dada Lycaon, “Omong-omong, pagi ini dingin. Berarti aku boleh minta peluk, kan?”

Lycaon sempat menunjukkan sedikit senyumnya. Telapak tangan besarnya kemudian ditaruh di atas kepala sang nona dan mengelusnya dengan penuh kasih. “Tentu, Nona. Boleh.”

Alice dibuat tambah malu. Untung saja kali ini Lycaon tidak dapat melihat rona wajah merahnya dan semoga juga tidak mendengar detak jantungnya yang berdebar cepat.

Pagi merangkak perlahan di antara mereka. Hanya ada Alice dan Lycaon yang merajut waktu bersama saat anggota Tata Graha Victoria belum terbangun dari buaian. Kehangatan Lycaon membawa rasa aman dan nyaman sampai tak diduga kantuk menyergap Alice lagi. Satu kuap lebar pun terbentuk.

“Nona Alice, mengantuk?

“Hmm …”

“Tidak ingin kembali tidur di kamar saja?”

“Tidak … mau di sini saja bersama Lycaon …”

“Baiklah. Saya akan tetap di sini, menemani Nona.”

Alice tidak membalas dan hanya terdengar suara dengkur halus. Lycaon tetap pada tempatnya, memerhatikan bagaimana nona muda itu tampak pulas tertidur dalam dekapannya.

.

.

“Selamat tidur, Nona Alice …”

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Amarine Celia
Amarine Celia

No responses yet

Write a response