Danse Macabre
Ship : Sugilite x Aventurine (SugiRine)
Tags : OOC(?), toxic bet toxic
Pengadilan tinggi yang dihadiri kesepuluh Orang Berhati Batu itu pun ditutup dengan ketokan palu besar oleh Opal, sosok pemberi suara penentu sekaligus penyelamat bagi terdakwa kali ini.
Aventurine — sang terdakwa — meratapi sebongkah batu mulia dengan gemerlap hijau dalam genggamannya. Seluruh pecahan dan retakan yang sempat meluluh lantak tak berbentuk itu kini utuh seperti sedia kala, tanpa cacat dan cela. Terlepas hasil akhir yang menyatakan ia yang terbebas dari segala hukuman dan dapat kembali menjadi anggota Sepuluh Orang Berhati Batu, Aventurine tetap menganggap inilah hukuman absolut yang dijatuhkan oleh Diamond padanya.
Kematian dan kebebasan yang ia dambakan tidak akan pernah terwujud. Sebuah pengingat jika seutuhnya dan selamanya, jiwa dan raga Aventurine adalah milik Tuannya seorang.
“Jadi, ini kemenanganmu lagi, eh? Perlukah kuucapkan selamat?”
Aventurine menoleh ke sumber suara. Ia tidak menyadari jika Sugilite masih berada di ruang pengadilan tersebut dan tengah berjalan ke arahnya dengan langkah congkak.
Topengnya segera terpasang, menampilkan sungging bibir tipis yang menantang sementara batu aventurine miliknya dilesakkan ke dalam saku jas dengan hati-hati. “Datang dari orang pertama yang memberikan hak suaranya untuk menghukumku? Tidak perlu, terima kasih.”
“Kenapa? Dendam, ya?” Sugilite mendekat, “Atau kau takut kalah dalam pertaruhan barusan?”
Aventurine mendengkus remeh tanpa menghilangkan kepercayaan dirinya, “Kau bercanda? Pada akhirnya, aku akan tetap memenangkan segalanya. Bahkan dengan kematian sekalipun.”
“Jumawa sekali.” Sugilite meneruskan, “Memenangkan segalanya … meski bukan kemenangan itu yang kau inginkan?”
“…”
Diamnya Aventurine cukup bagi Sugilite untuk meloloskan lengking tawa yang Aventurine benci. Seperti seorang maniak yang mengejek dan mencemooh takdir yang Aventurine jalani. “Berubah pikiran? Seharusnya aku berhak menerima ucapan terima kasihmu itu, Aventurine.” Satu tangan Sugilite menangkup dagu Aventurine dan memaksanya untuk bersitatap satu sama lain, “Sebab hanya aku yang tahu, apa yang sebenarnya kau inginkan. Kebebasan itu; kemerdekaan itu; akulah yang paling mengerti atas dirimu.”
Aventurine berdecih muak. Dengan kasar, ia segera melepas jeratan tangan Sugilite, “Aku tidak perlu belas kasih palsumu. Kebebasanku adalah milikku dan harus aku yang mendapatkannya sendiri.”
Sugilite masih saja mempertahankan seringai, “Pertunjukkanmu selalu menjadi hiburan terbaik untukku. Melihat bagaimana kau menderita seperti cacing kecil di bawah terik matahari, membuatku ingin sekali menghancurkanmu, meremukkan tulang-tulangmu menjadi abu.”
Ancaman Sugilite tak lebih dari sekadar angin lalu untuk Aventurine, “Lihat bagaimana kelak, aku yang akan lebih dulu menghancurkanmu, Sugilite.”
“Hah. Berharap saja pada keberuntungan dan Tuhanmu yang telah mati itu,” Tukas Sugilite sebelum akhirnya memutuskan untuk menyudahi konversasi mereka ini dengan melenggang melewati Aventurine. Tepat sebelum ia mencapai pintu megah ruang pengadilan, langkahnya terhenti dan tanpa membalikkan tubuh mulai berkata kembali, “Oh, omong-omong. Selamat datang kembali, Aventurine. Aku akan sangat menantikan kerjasama kita selanjutnya.”
Ucapan tanpa balas sampai akhirnya sosok Sugilite menghilang seutuhnya di balik pintu.