Hitam-Putih

Amarine Celia
4 min readJul 4, 2023

--

Ship: Wriolette (Wriothesley x Neuvillette)

Tags: PWP, Ngewe tipis-tipis

Neuvillette terbiasa atas hitam dan putih, bukan abu-abu.

Dalam benaknya, dunia terbentuk atas niat yang pasti. Seperti apa yang terlihat, maka itulah realita. Bahkan penghakiman di hari akhir hanya akan menyisakan dua perkara; surga atau neraka, tidak ada antara. Lantas sebagai hakim tertinggi di negeri hukum ini, sudah sepantasnya Neuvillette meyakini hal-hal yang benar sebagai dasar keputusan.

Tapi apakah yang ia lakukan sekarang adalah hal yang benar?

Jika tidak … ini merupakan kesalahan.

Di bawahnya, bukan sosok yang Neuvillette bayangkan akan berhasil menghasutnya dan mempermainkan logikanya. Pria begundal itu — Wriothesley — tidak seharusnya berada di sini, berdua bersamanya, tanpa busana, memadu rasa tanpa asmara. Tidak. Tidak sepatutnya. Karena mereka ialah bulan dan matahari yang tidak dapat berdampingan meski bernaung di angkasa yang sama. Keduanya adalah kongsi yang bertentangan dan dapat memercik prahara yang lebih besar jika disatukan.

Sorot manik biru pudar milik Wriothesley menelisik, tanpa aksara pun ia berhasil mengacak-acak Neuvillette tak bersisa. Bibirnya lantas tertarik asimetris, menyiratkan provokasi dan godaan. Sementara Neuvillette berusaha menetralkan deru napasnya sendiri yang makin berserakan. Cahaya perak rembulan jatuh tepat di atas tubuh dua insan yang membuatnya berkilat akibat peluh-peluh. Gurat-gurat otot yang kekar pada tubuh Wriothesley menjadi kontras dengan lekuk halus tubuh Neuvillette yang melekuk membentuk siluet bagai mahakarya. Sungguh, Wriothesley jadi tidak kuasa untuk menahan senyumnya menjadi sarat arogansi.

“Kok berhenti? Lanjutkan, Sayang.”

Neuvillette tak berniat menjawab dengan lisan. Ia hanya butuh waktu untuk terbiasa meresapi kehadiran Wriothesley di dalam dirinya. Sampai saat itu tiba, pinggul Neuvillette akhirnya mulai bergerak naik dan turun secara perlahan.

Wriothesley meloloskan geraman, napasnya ikut merasa sesak seperti penisnya yang kini dihimpit penuh. Saat matanya terpejam, kenikmatannya juga makin berlipat-lipat. Kulit dan kulit yang menyatu dan sentuhan dari tangan Neuvillette yang menjadikan perut Wriothesley sebagai tumpuan sambil terus menghidupkan ruangan ini dengan derit ranjang dan desahan. Semuanya melebur dalam tarian api yang panas dan membakar di atas peraduan.

Wriothesley kembali membuka matanya dan dengan jelas menjadi saksi atas keindahan sosok Neuvillette yang ia yakini tidak diketahui oleh orang lain. Dalam beberapa saat, Wriothesley merasa congkak. Hanya Wriothesley yang mampu menciptakan huru-hara ini, yang mampu memancing raut wajah Neuvilllette jadi begitu menggairahkan sekaligus berantakan. Deru napas yang berlomba-lomba juga helai-helai rambut panjang yang kini kusut masai itu turut mengambil andil menambah kesan erotis pada Neuvillette.

“Sshh …” Perlahan Wriothesley bangkit. Ia menyadari bila sang hakim sudah kepayahan dalam mendominasi permainan ini. Pertama kalinya mereka meracik rasa, Wriothesley cukup memaklumi. “Sekarang biar aku yang ambil alih. Tuan Putri bisa istirahat, ya.”

Neuvillette hanya mengangguk lemah, pikirannya terlalu berkabut untuk sekadar membantah panggilan yang seenaknya Wriothesley sematkan.

Dengan hati-hati, tanpa melepaskan tautan yang telah terjadi, Wriothesley mengubah posisi mereka. Kini Neuvillette menggantikan posisi Wriothesley sebelumnya. Manik lila Neuvillette juga melihat bagaimana sosok Wriothesley kini sudah berada di atasnya dan memenuhi lingkup pandangnya.

Wriothesley mempertemukan bibirnya dengan bibir Neuvillette. Dua insan kini melebur dalam ciuman panjang. Neuvillette lagi-lagi tidak mengelak; ia membiarkan Wriothesley menuntunnya hingga menemui puncak hanya di malam ini. Lidah-lidah beradu-padu dalam tarian liar sampai alur napas Neuvillette menjadi kacau dan sesak. Jalinan itu perlahan sirna, menyisakan seutas benang saliva tipis yang berkilau tertimpa iluminasi cahaya.

“Sudah siap melanjutkan lagi?”

Neuvillette diberi waktu untuk menata diri, “Cepat selesaikan ini …”

“Lihat siapa yang sekarang menuntut?” Wriothesley menggoda dengan kalimatnya, “Santai saja dulu. Mari nikmati perlahan-lahan selagi pagi belum menjelang.”

Ia mengikis jarak, menyelinap ke ceruk leher Neuvillette, meninggalkan satu kecupan kupu-kupu dan gigitan ringan di sana. Neuvillette bereaksi kecil, Wriothesley jadi kian terpatik. Benar adanya jika semua ini terjadi tanpa asmaraloka. Tapi harus Neuvillete akui pemuda di hadapannya itu, tampak sangat gagah dan rupawan. Perlahan, hatinya terpikat akibat fana sesaat.

Tatapan mata Wriothesley kini tertuju lagi pada Neuvillette seorang. Helai rambut jelaga yang jatuh di atas keningnya dipugar ke belakang, hingga memperlihatkan keningnya. Neuvillette tidak menyukai gestur itu; membuat hatinya bergemuruh dengan debaran tidak karuan.

“Aku tidak bisa janji akan bermain hati-hati. Kamu bisa mencakar punggungku atau menjambak bila perlu.”

Neuvillette hanya membuang wajah, terlalu bingung — dan malu — hendak membalas apa. Sementara Wriothesley menyampirkan kaki Neuvillette pada bahu kokohnya. Bibirnya juga sempat menciumi dan sedikit menyesap paha bagian dalam Neuvillette sampai ruam kemerahan muncul di sana.

Wriothesley mulai melangkah lebih jauh.

Malam kemudian tiada menemui tepian dan sepasang manusia meracik kenikmatan atas gejolak hasrat. Mereka yang menciptakan perkara ini; menyulut apa yang seharusnya tidak pernah ada.

Bagi Neuvillette, dunia ini hanya terdiri atas hitam dan putih. Maka ia menyadari, jika suatu hari nanti penghakimannya akan tiba; buah perbuatannya akibat mereguk manis-getirnya godaan semata. Tapi sampai saat itu tiba, Neuvillette hanya ingin menikmati segelintir dosa ini dan ikut terbenam dalam sosok bernama Wriothesley.

Karena hanya di malam itu ia menyerahkan diri dan di malam selanjutnya semua akan pergi.

--

--

Amarine Celia
Amarine Celia

No responses yet