Jejak Masa

Ship: HaiNo (Alhaitham x Cyno)
Tags: Hurt/comfort, trauma, mentioning penyiksaan anak di bawah umur
Kisah lalunya hanya meninggalkan luka dan Cyno tidak ingin mengoreknya lagi.
Tidak sampai prahara itu hadir sendiri di hadapannya, membawa serpihan dari masa-masa yang tak ingin Cyno kenang. Seringai berbisa, menahan Cyno untuk tetap terpaku pada sosoknya seorang di tengah-tengah ruangan senyap. Dalam manik gulita pekat yang berpendar bagai bintang, Cyno tidak mampu melepaskan diri dari jerat yang membayang. Ilusi itu datang. Merayap, menyelimuti Cyno dalam jelaga hitam yang memerangkap.
Jagat semesta yang dipijaknya bergetar lalu semua binasa. Binar delima ikut lekang, direnggut hampa sampai ia jatuh bersimpuh pada sosok pemegang kuasa. Dadanya bergemuruh, napasnya menjadi sesak. Dengan susah payah, Cyno mereguk udara yang tetap tidak membuatnya cukup untuk bertahan. Ia ingin teriak, tenggorokannya tecekat, mencekik. Mual — dunianya berputar lalu runtuh, menyisakan hanya dirinya yang terjebak kegelapan abadi.
Segala yang diinderainya adalah kelam yang mencekam. Saat Cyno mulai tersadar, kenangan-kenangan itu ikut bangkit, menyeruak perlahan dari dinding kosong yang bisu. Mulanya buram lantas semakin menjelma nyata dan bersuara lantang. Keras — terlalu pekat sampai pusing.
Mimpi buruknya datang kembali.
Cyno berdiri di sana, merasakan dingin yang membekukan sendi-sendi. Ia melihat sosok kecilnya. Cyno ingin raih tapi percuma. Ia juga ketakutan dan turut menangis ketika sosok kecilnya berteriak di tengah lautan tubuh dan genangan merah. Teriakannya memecah kesunyian. Onggokan tubuh itu wajah-wajahnya rusak dan tercerai berai. Mereka semua hanyalah orang-orang yang tidak Cyno kenal asmanya dan Cyno membunuh mereka tanpa tahu kenapa.
Ada kaum yang menyuruhnya; membimbing Cyno atas perintah Tuhan.
Tapi entah Tuhan yang mana.
Satu bayangan hilang, diganti lainnya lagi. Sosok kecil itu kini dikelilingi manusia-manusia sinting dengan jubah dan tudung hitam menyeramkan. Sementara burung-burung pemakan bangkai ada di tepian, menonton tidak sabaran. Siapa tahu mereka hari ini bisa pesta besar kalau saja anak kecil itu ikut dijagal di sini karena dianggap sudah tidak berguna.
Ia ketakutan. Cyno ketakutan. Tubuhnya gemetar. Suaranya menggema meminta tolong — tapi pada siapa kiranya ia meminta pertolongan. Anak itu tidak tahu. Cyno juga … tidak tahu. Cyno masih mematung dengan air mata yang jatuh, menahan jijik, menahan gejolak asing pada perutnya. Ia ingin muntah — kepalanya berputar dan telinga berdenging. Cyno jatuh lagi dan menangis.
Hentikan … siapapun … tolong …
Paru-parunya sakit bahkan untuk sekadar menjaga detak. Cyno merasa ingin mati saja. Mengakhiri hidupnya di sini — di ruang hampa ini, sendirian. Pantas sekali untuk dirinya yang bukan entitas berharga. Dari jauh burung-burung pemakan bangkai itu balik memerhatikannya, bukan anak kecil itu lagi. Baguslah, mungkin. Biarkan Cyno saja yang dimakan — jangan anak itu. Jangan dirinya itu, kasihan.
Cyno diam, menunggu. Burung-burung itu mendekat, siap mengoyak dagingnya, meremuk redam tulangnya, semuanya. Saat Cyno merasa akhir kehidupannya sudah menjelang di haribaan, dengung suara lain mengudara di sekelilingnya, menembus dari dinding-dinding bisu itu, membawa secercah asa yang Cyno harapkan. Itu bukan suara huru-hara atau pekik kengerian melainkan suara yang lebih hangat dan ia rindukan. Sisa-sisa kebahagiaan Cyno yang tertinggal di realita sana. Pelitanya. Mataharinya …
Alhaitham …
“ — no! Cyno, dengar saya!”
Manik delima yang kosong itu akhirnya mampu menemukan binarnya kembali. Sekelilingnya bukan lagi gelap. Suara-suara mencekam itu juga sudah berlalu pergi. Cyno menemukan Alhaitham ada di hadapannya, cemas dan ketakutan. Mataharinya menjadi redup. Ini salahnya.
“… Hayi.” Suaranya serak.
Sorot mata Alhaitham berubah teduh seraya ia mengusap perlahan pipi Cyno, ibu jarinya bergerak menghapus bekas kesedihan yang menghampiri. “Mimpi itu lagi?”
Cyno tidak menjawab. Alhaitham sudah lebih tahu dan tidak mempertanyakan lebih jauh.
“Apa kamu perlu sesuatu? Saya bisa buatkan susu hangat.”
Cyno menggeleng pelan. “… aku hanya butuh Hayi.”
Alhaitham diam sejenak. Benar-benar tidak tega untuk melihat Cyno menderita sementara ia tidak mampu berbuat banyak. “Saya mengerti. Saya akan tetap di sini. Kemarilah, Cyno.”
Tidak memberi jeda bagi Cyno untuk bereaksi, Alhaitham membawa tubuh pasangannya tersebut untuk direngkuh. Cyno membalas erat, mukanya terbenam penuh di dalam dada Alhaitham tanpa mengucap sepatah kata. Semua terasa hangat seperti rumah yang selalu Cyno rindukan.
Alhaitham mengelus puncak kepala Cyno, menyalurkan afeksi juga membiarkan helai-helai putih itu terselip-selip di antara jemarinya, “Saya di sini. Tidak ada yang bisa menyakitimu lagi, Cyno.”
Suara Alhaitham dan sentuhan sederhananya sudah lebih dari cukup untuk mengusir ketakutan yang Cyno rasakan — ditambah adanya kehadiran pemuda itu, Cyno tidak pernah berpikiran untuk diperhatikan lebih dari yang ia bayangkan. Untuk detik waktu yang berjalan dan malam yang kian merangkak naik, Cyno membiarkan pelukan ini bertahan.
Sampai akhirnya Alhaitham bisa merasakan napas Cyno sudah mulai teratur. Ketika ia mengintip sedikit, kedua manik delima favoritnya itu sudah terpejam lagi. Kantuk kembali membawa Cyno melanglang pergi, namun kali ini Alhaitham mampu menjamin tidak akan ada mimpi buruk yang menghampiri.
Dan sebelum Alhaitham merajut mimpinya kembali bersama Cyno yang lebih dulu terlelap, ia menyelipkan satu kecupan pada kening pemuda yang kini bersarang di dalam pelukannya.
“Mimpi indah, Mahamatra-ku.”