Mari Bercinta

Ship : DesKas (Deshret x Kasala)
Tags: Roleplay, costume play, ya nganu tapi nganu tipis-tipis, judul fic-nya sesuai lagu yang kesetel random di Spotify (TMI)
Deshret tidak bisa menerka apa yang terjadi selama ia tertidur; terbaring dengan Kasala sudah duduk di atasnya dalam balutan busana yang sensual. Oh, entahlah. Bahkan sebelumnya Deshret tidak pernah menyangka seragam suster dengan potongan minim tergantung di atas lutut itu dapat sangat menarik dikenakan Kasala.
“Tuan Deshret, sudah bangun?”
Meski semua terasa ganjil, Deshret tidak menemukan keanehan lain selain Kasala yang berada di kamarnya dengan sikap menantang dan dipenuhi kepercayaan diri. Kasala yang Deshret kenal sejak lima tahun belakangan tidak akan melakukan inisiasi berani, terlebih dengan sengaja memprovokasi. Tapi yang berada di hadapannya memanglah Kasala. Suara Kasala masih sehangat yang dia ingat. Senyumnya pula masih serupa seperti yang ia lihat terakhir kali di pagi kemarin.
“Kasala, ini — kamu, ada apa?” Bahkan kalimatnya tidak tertata dengan baik sampai mengundang kekeh candu dari sosok di atasnya.
“Oh, lihat! Separah itu ternyata kondisi Tuanku sampai linglung begini,” Sepasang manik madu menatap iba Deshret yang berada di bawah kukungannya. “Ternyata benar kata Tuan Alhaitham. Anda perlu perawatan khusus.”
Alhaitham? Kenapa pula adiknya itu terlibat dalam hal ini? Apakah Alhaitham juga yang meminta Kasala untuk berpakaian demikian saat ia tengah sakit? Deshret tidak marah, sih. Idenya brilian — mungkin harus Deshret beri penghargaan juga. Tapi, kembali lagi. Kenapa Kasala mau-mau saja disuruh —
“Tuan Deshret, aku masih di sini. Jangan memikirkan yang lain,” Kasala membuyarkan lamunan Deshret dengan menangkup wajah Deshret, memaksa atensi Deshret untuk terpaku hanya padanya. Dan benar saja, karena dengan cara itu Deshret tidak lagi mengawang. Ia terhipnotis, menikmati sentuhan pada mukanya, menikmati Kasala juga.
Oke, Deshret menyerah. Jawabannya bisa dicari nanti. Ia akan menikmati apa yang sudah menjadi suguhan untuknya kali ini.
“Rasanya saya memang sangat sakit,” Ujar Deshret yang akhirnya ikut memainkan peran, “Tolong rawat saya, Suster.”
Sebuah senyum kembali terlukis di paras manis Kasala. Deshret selalu suka bagaimana caranya Kasala menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Sederhana dan memikat, seakan hendak melambungkan segala fantasi yang Deshret miliki ke langit ketujuh.
“Serahkan ini padaku, Tuan,” Kasala mengerling, sarat godaan. Tangannya meraih sebuah termometer dari dalam saku, membersihkan sekaligus memeriksa singkat sebelum menyelipkannya di antara bilah bibir Deshret. “Tahan dulu, ya.”
Deshret menuruti dan menunggu.
Tanpa sadar, ia jadi menelan ludah sewaktu tubuh Kasala perlahan merendah dan mulai mensejajarkan diri dengan posisi tuannya. Perut bertemu perut dan pinggulnya yang ramping dibuat agak naik, membentuk lekuk tubuh yang erotis. Deshret pikir hanya sampai sana saja godaan yang harus ia lalui. Sampai napasnya nyaris tercekat dengan apa yang kini menjadi pemandangan utamanya.
Tidak hanya wajah Kasala yang terasa dekat, dari sudut ini, Deshret bisa memerhatikan jelas melalui sela belahan baju Kasala yang dibiarkan terbuka; dada putih dan puting merah muda yang — oh! Dan, oh! Kasala memang tidak pernah mengecewakan ekspektasi Deshret dan berhasil membuat sesuatu dari dirinya bangkit. Sialan memang. Semoga Kasala tidak menyadarinya. Atau lebih baik cepat menyadarinya agar tuntas semua.
Stetoskop yang semula bertengger manis di leher sang suster dadakan itupun kemudian Kasala pergunakan untuk mendengar detak jantung Deshret. “Hmm, detak jantung Tuan berdebar cepat sekali.”
Deshret membatin, ‘Ya, semua ini karena ulah siapa?’
Kasala selanjutnya menarik termometer dari bibir Deshret. “Suhunya 37,5°C. Masih demam,” Mata Kasala memandangi Deshret lagi. “Tandanya Tuan harus minum obat dan banyak istirahat. Tuan Alhaitham bilang, Tuan ini susah sekali disuruh minum obat.”
“Alhaitham kedengaran cerewet sekali.”
“Ya, makanya jangan sulit diatur.” Tawa Kasala sambil menegakkan tubuhnya lagi. “Sebentar, akan aku ambilkan oba — eh?”
Deshret bisa merasakan ereksinya yang setengah menegang membentur bokong sintal Kasala seiring pemuda itu bangkit. Kebingungan tercetak jelas di air muka Kasala namun dengan cepat berganti menjadi senyum tipis yang tidak bisa Deshret maknai.
“Tuan …” Kasala masih menatap lekat Deshret sementara satu tangannya bergerak ke arah gundukan di antara paha Deshret. Tanpa perlu melihat langsung, Kasala dengan mudahnya memberi pijatan pelan yang otomatis memancing geraman rendah Deshret. “… yang ini juga sakit, ya?”
Deshret tidak bisa menampik pesona Kasala dan rayuannya. Ada yang membuat Deshret sulit untuk menjelaskan segalanya; tentang Kasala yang ternyata adalah sosok iblis penggoda dalam balutan rupa malaikat — yang lagi-lagi tidak Deshret perkarakan karena ia menyukai hal-hal mengenai Kasala; sekecil, senakal apapun itu. Tentang bagaimana sekretarisnya tersebut bisa tampak suci sekaligus binal di waktu bersamaan. Ada banyak yang masih belum Deshret ketahui mengenai Kasala.
“Kasala …” Deshret tidak lagi bisa berpikir jernih, tindakannya hanya digerakan oleh hawa nafsu. Ia menangkup bokong Kasala dengan kedua tangannya. Masing-masing menangkup satu dan Deshret balas melancarkan apa yang Kasala lakukan padanya — meremas, memijat, memanjakan.
“Tu — ahn …” Desah Kasala begitu legit, Deshret ingin mendengarnya lagi. “Apa boleh buat. Biar aku obati dulu yang ini …”
“ — ngun, Deshret.”
Deshret membuka mata. Kesadarannya masih setengah terkumpul, tapi secara naluriah ia malah langsung mencari keberadaan Kasala yang semula hendak ia gagahi.
“Kasala … Kasala di mana?”
“Hah?” Alhaitham, sosok yang membangunkannya hanya menatap sang kakak dengan penuh tanda tanya. “Di rumahnya. Menurutmu di mana?”
“Bukannya tadi ada di sini?”
Alhaitham melipat kedua lengannya di depan dada. Ia tahu kemarin malam Deshret cuma menderita demam biasa dan bukan terjangkit penyakit aneh-aneh. Lalu kenapa bisa tiba-tiba bertambah gejala halusinasi segala?
“Kasala tidak di sini.” Tegasnya. “Dan tidak, ia juga tidak mungkin menyelinap diam-diam masuk ke kamarmu. Kamarmu ada di lantai tiga, kalau kau lupa.”
Deshret tertegun. Rentetan fakta yang cukup menamparnya kalau beberapa saat lalu semua itu hanya mimpi. Ia pun menggaruk kepalanya frustasi sambil mengerang ke arah Alhaitham.
“Padahal sedikit lagi. Kenapa kau membangunkanku, sih?”
“Kalau berani, salahkan nenek saja sana. Beliau yang suruh. Katanya mau diskusi soal saham perusahaan,” Balas Alhaitham yang tak mau ambil pusing. “Sudah. Tugas saya selesai. Cepat sana bersiap.”
Alhaitham angkat kaki dari sana dan Deshret melempar selimutnya asal. Tepat sebelum ia meninggalkan ranjang, terasa sesuatu yang lembab dan basah berasal dari bagian selangkangannya.
Ah, sialan.
Ternyata semua benar-benar cuma mimpi.
Mimpi basah.