Midnight.

Masih ada roda gigi berserakan di atas meja beserta perkakas-perkakas lain ketika Tiernan memutuskan untuk beranjak dari peraduannya demi mencari udara segar di sekitar kereta.
“Selamat malam, Mikhail.”
Yang disapa, menarik atensinya semula dari mesin yang berdetik sangat lemah pada sosok yang baru saja tiba dan berdiri di hadapannya. “Ah, Tiernan. Malam. Belum tidur?”
“Kamu juga belum.” Balas Tiernan pada pertanyaan yang seharusnya retorik, “Masih sibuk dengan jam tua itu, eh?”
“Hm, iya …” Mikhail meneruskan kegiatannya yang tertunda. Sebuah obeng kecil ia raih dan fokusnya kembali. Matanya memicing, sebelum hela napas panjangnya terdengar. “Masih tidak bisa ternyata …”
Tiernan yang sedari tadi memerhatikan (dan jadi sedikit terlupakan eksistensinya akibat organ dalam jam saku itu lebih menarik ditelisik oleh sang mekanik) pun meloloskan kekeh kecil. Melihat bagaimana pemuda di hadapannya ini jadi tampak mungil saat tengah serius menekuri jam saku tua hingga tidak menyadari sekeliling, cukup menggelitik dirinya. Bahkan ketika Tiernan memutuskan untuk undur diri sejenak menuju dapur kereta dan kembali ke sana dengan dua gelas cokelat hangat, Mikhail masih bertahan pada posisinya yang sama.
“Hei, istirahat sejenak.” Tiernan menyodorkan satu gelas pada Mikhail. “Tubuhmu bisa lebih bungkuk dari seorang kakek-kakek kalau begitu terus.”
Mikhail yang tersentil dengan ucapan Tiernan pun mulai mengangkat kepalanya lagi sekalian menegakkan tubuhnya. Sorot mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat sebelum ia menerima gelas dari tangan Tiernan dengan agak kikuk. “A — ah, terima kasih. Maaf, jadi merepotkan.”
“Hm, bukan masalah.” Tiernan tanpa dipersilakan, duduk tepat di sebelah Mikhail. “Jadi apa yang kamu temukan sejauh ini?”
“Selain mesin yang usang dan karatan, kurasa tidak ada …”
“Harus menggantinya dengan yang baru, kalau begitu?”
“Benar …” Mikhail menyesap cokelatnya perlahan. Rasa pahit dengan manis yang samar-samar mulai memanjakan indra perasanya. Tiernan sudah kelewat hapal dengan komposisi bubuk pahit cokelat, gula, dan air panas yang Mikhail sukai. “Yang aku lakukan sedari tadi sebenarnya adalah langkah improvisasi … menggunakan suku cadang yang kupunya sekarang, tapi hasilnya nihil.”
“Dan sudah tahu begitu, kamu masih penasaran mencoba?”
“Iya.”
Kebulataan tekad seorang perintis memang terkadang tidak mampu diungkapkan sekadar dengan frasa. Pada saat ini pun, Tiernan yakin banyak kemungkinan lain yang berseliweran dalam kepala Mikhail. Ekspedisi dan petualangan; perkara dan jalan keluarnya; semua menjadi dasar yang mengisi sel kelabu sang mekanik muda — serupa dengannya, serupa dengan perintis lainnya.
Tiernan menangkup puncak kepala Mikhail dengan tangannya yang bebas dan mulai mengusak-usaknya usil sambil terkekeh ringan.
“Tiernan — !“
“Sshh, jangan berisik atau Pom-Pom bisa memarahi kita karena berisik.” Tiernan menghentikan tangannya sebelum protes lain meluncur, “Bagaimana jika kita tutup hari ini dan mulai mencari cara lain esok hari?”
“Tapi …”
“Aku bisa meminta pada kondektur untuk singgah sebentar di planet terdekat dan kita bisa mencari suku cadang yang kamu perlukan di sana bersama-sama. Kedengarannya bagus bukan?”
Mikhail mengerjap dan sejenak memikirkan buah pikiran yang dilontarkan pemuda di sebelahnya. Tiernan saat itu memandanginya dengan sorot mata teduh; sorot mata yang selalu Mikhail dambakan dalam diam.
“Ide bagus.” Mikhail tersenyum tipis, “Untuk saat ini, mungkin itu cara terbaik.”
“Jadi kita sudah sepakat?”
Masih dengan mempertahankan senyumannya, Mikhail membalas kembali, “Iya, sepakat.”
Dua cangkir cokelat tandas tak bersisa dan perbincangan mereka tidak terjalin lebih jauh lagi. Malam tegak meninggi dan gemintang di angkasa sana menyaksikan dua insan yang berpisah setelah satu cumbu ringan menutup pertemuan mereka kali ini.