Amarine Celia
2 min readJan 26, 2023

Murup — Redam

Ship: Deshret x Kasala (DesKas)

Kasala mencintai matahari. Tapi tidak pernah mendambakan matahari untuk jatuh dalam pangkuannya.

Sebab Kasala adalah seorang hamba yang tahu diri. Ia bukanlah semesta yang tumpah ruah. Ia juga bukanlah langit yang memiliki singgasana megah.

Kasala terlalu kecil. Sangat kecil bila harus menjadi penadah luapan kasih matahari yang begitu luas.

Kasala hanya penjaga hikayat yang setia dan fana; yang suatu hari dapat lekang dimakan masa seraya membawa sabda.

Bahkan setitik bara api matahari mampu membinasakannya. Menghanguskannya. Menghilangkannya. Jadi debu dan abu.

Maka cukuplah berada di bawah larik sinar-sinar hangatnya yang memeluk, Kasala memanjatkan puja-puji dalam bait doa; melengkapi pinta umat yang rumpang di lisan.

Kasala hanya segelintir sujud yang didengar langsung oleh matahari dan dengan begitu rendah hati selalu berharap jika matahari akan terus menjaga mereka—menjaganya—dari petaka.

Sampai semesta berdusta; mimpi buruk yang tak diinginkan sang imam pun menjelma jadi nyata.

Gemuruh membawa riuh. Langit-langit yang murka lalu meluruh runtuh, terhempas hingga tercerai di bawah kakinya. Badai turut meraup kebahagiaan, menyisakan penderita yang mendera—menjerit, melolong membelah jagat.

Kasala mengecap pilu teramat dalam.

Semua menangis dan matahari berduka.

Kasala tahu matahari melanggar ikrar langit yang tabu—tapi bisakah untuk sekali ini langit mendengar permohonan maafnya untuk mengampuni matahari?

Tidak ... tidak ...

Langit seketika tuli dan membiarkan semuanya lebur dalam huru-hara.

Dan matahari pun menyadari kesalahannya saat semua sudah nyaris terlambat. Pertobatan sederhana tidak mungkin diterima dengan mudahnya. Karena langit terlalu angkuh untuk berderma.

Harus ada yang dikorbankan untuk meredam bencana.

Matahari langsung bertekuk lutut.

Kasala tidak bisa mencegah matahari dan membiarkannya pergi meninggalkan selasar sunyi. Air matanya ikut jatuh berderai bersama dinding-dinding yang senantiasa bungkam.

Bergema lirih. Meretak dan berdarah.

Dalam sekejap mata, sembur cahaya meluap tumpah.

Getar tanah tak lagi terasa dan badai-badai akhirnya memberi senyum sebelum lenyap tak bersisa.

Semua kembali hidup—kecuali matahari.

Matahari meredup-susut seperti nova tanpa nama di angkasa sana. Raganya kemudian jatuh membisu ke bentala.

Kasala berhasil menangkapnya.

Tubuh matahari tidak lagi membakar. Tubuh matahari juga tidak meruah-ruah seperti dahulu.

Dalam kesedihannya yang masih mendera, Kasala membawa matahari pada pangkuannya.

Kasala mencintai matahari dan tidak berharap bisa merengkuhnya untuk terakhir kali.