Pendar
Ship: Deskas
Sebatang lilin berpendar di atas meja.
Sisa hari yang berjalan, merayap perlahan di belakang sang raja tanpa ia sadari. Suara turut tiada, lenyap bersama cahaya di luar sana hingga yang tersisa tinggal bulan perak yang menggantung di tahta tertinggi langit.
Perkamen kedua belas digulung kembali seperti semula dan disampirkan ke sisi. Matanya terpejam seraya ia pijat pelan pangkal hidung. Punggungnya lantas bertemu sandaran kursi. Sudah dua setengah jam berlalu semenjak ia putuskan untuk mempelajari rancangan birokrasi terbaru. Semua terasa menjemukan, membuatnya merasa sedikit muak dengan pertimbangan bertele-tele.
Deshret mencoba mengambil jeda sebelum melanjutkan. Tinggal tiga perkamen lagi seharusnya tidak sulit. Ya, tidak sulit kalau ia tidak tiba-tiba diserang rasa kantuk.
Dan nyaris saja kedua kelopak matanya tertutup kalau tidak ada suara ketukan dari pintu.
“Masuk.” Perintah Deshret.
“Permisi, Paduka. Maaf jika kehadiran saya mengganggu Paduka,” Sesosok pemuda itu terlebih dulu membungkuk santun pada Deshret.
Dalam keremangan cahaya, Deshret tidak perlu menerka siapa gerangan yang datang. Karena hanya akan ada satu nama yang masih terjaga bersamanya hingga larut seperti sekarang. “Tidak apa-apa, Kasala. Saya pun sedang beristirahat,” Balasnya. “Apa itu yang kau bawa?”
“Oh, ini.” Kasala pun masuk dengan membawa sebuah kendi beserta gelas tembikar. “Hanya seduhan rempah-rempah supaya tubuh Paduka tetap hangat. Akhir-akhir ini cuacanya sedang tidak bersahabat.”
Tanpa dikehendaki, Deshret mengulas senyum tipis. Tentu saja, Kasala akan memperhatikan kondisinya hingga sejauh itu. Meski Deshret sering berkata bahwa ia bisa menjaga kondisinya sendiri, Kasala akan selalu memastikan keadaan tuannya benar-benar baik tanpa kecuali.
“Kau memang selalu teliti,” Puji Deshret yang masih mempertahankan senyum. “Terima kasih, Kasala.”
“Sudah tugas saya, Paduka.”
Kasala mendekati sebuah meja kecil di sisi ruangan dan meletakan kendi dan gelasnya di sana. Sementara itu, Deshret turut memerhatikan gerak-gerik sang imam dari tempatnya. Begitu cantik, batin Deshret. Kadang ada sesuatu dalam diri pemuda tersebut yang diam-diam membuat Deshret ingin melindunginya dari segala marabahaya. Tak peduli sekalipun tandanya ia harus menentang perintah langit. Deshret tidak ingin pengikut setianya ini harus merasakan durjana.
“Paduka, itu rancangan birokrasi untuk sistem perdagangan baru, ya?”
“A-ah, iya.” Deshret kembali dari lamunannya, tidak menyadari jika Kasala sudah berdiri di sisinya. Tubuh Deshret sedikit condong ke arahnya sambil mengintip isi perkamen lain yang terhampar pada haribaan meja. “Bagaimana menurutmu, Kasala?”
“Eh, menurut saya?”
Deshret mengangguk singkat, “Saya merasa birokrasi ini terlalu tajam ke bawah. Penarikan pajak memang diperlukan negeri ini, tapi aturan ini akan mencekik masyarakat kalangan menengah ke bawah.”
“Hmm, benar juga. Rasanya jadi tidak adil, ya.” Kasala mencerna hati-hati ucapan sang raja, “Tapi menurut saya, apapun keputusan Paduka nanti, sudah pasti menjadi keputusan terbaik untuk semua.”
“Oh? Jawabanmu mencari aman sekali.”
Kasala mengurai tawa yang terdengar bagai candu di telinga Deshret, “Tapi saya tidak bercanda, Paduka.” Pada interval itu, Deshret bisa menangkap rekah senyum hangat Kasala, berbingkai pendar minim dari api yang menari-menari di atas sumbu. “Saya akan selalu percaya pada Paduka dan selamanya akan mengabdikan diri untuk Paduka.”
Tanpa sadar, Deshret menarik tubuh sang imam hingga tenggelam dalam dekapannya. Kasala terlihat bingung, tak berbeda dengan Deshret yang juga merasa bingung. Deshret bisa mendengar detak jantung Kasala, ia rasa Kasala juga bisa mendengar miliknya dengan jarak yang terpangkas.
Ah, aneh. Deshret tidak bisa menjabarkan perasaan apa ini.
“P-Paduka …”
“Maaf …” Bisik Deshret di bawah napasnya. “Tapi saya ingin seperti ini dulu untuk beberapa saat.”
Kasala tidak menjawab. Akhirnya Kasala hanya membiarkan dirinya terhanyut dalam rengkuh sang raja. Mereka berbagi resah juga kenyamanan, membuat keduanya tidak perlu berdusta lebih dari seharusnya.
Deshret menyadari sesuatu di dalam dadanya seperti hendak meledak. Terlebih dengan Kasala yang berada di sisinya.
Sisa-sisa perkamen itupun menjadi tidak menarik lagi untuk dibaca.