Semu.
Titik ketika semua bermula.
Mungkin tertinggal sedikit kewarasan di sudut nalarnya — atau mungkin juga sudah habis meranggas tidak bersisa, apapun itu, Aventurine tidak peduli. Terlebih ketika Ratio tengah merajainya malam ini dan sama seperti malam-malam yang telah berlalu, Aventurine membiarkan Ratio mendominasi lalu menuntun penyatuan mereka hingga semua lebur dalam satu rasa.
Bukan. Bukan rasa untuk saling memiliki yang mereka maksud. Melainkan rasa lapar lain yang lebih abstrak sifatnya. Sebab setelah tabir malam ini tersingkap, di antara mereka, tidak ada lagi kepalsuan. Baik Aventurine maupun Ratio akan kembali dalam peraduannya masing-masing dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Semua ini berawal dari pertaruhan konyol, pertaruhan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Persanggamaan demi persanggamaan mereka berlangsung tanpa berlandaskan kasih hanya karena Aventurine adalah seseorang yang gila mempertaruhkan segalanya bahkan kematian sekalipun. Candu dan rayu mulanya ragu, berintegral menjadi lebih tegas dan berani. Rumit dalam kelumit, terurai dalam buai. Hingga logika mereka sama-sama patah diterjang gairah.
Aventurine bisa merasakan ereksi Ratio merangsek utuh. Satu erangan panjang tertahan dalam bantal. Sekejap semua kian terasa panas dan tiap sentuhan yang Ratio buat terasa seperti membakar jengkal raganya. Aventurine jadi hilang akal, terlebih ketika Ratio mulai menciptakan hentakan-hentakan yang liar. Peluh membanjiri, desah memenuhi ruang yang hanya dihuni oleh mereka yang tengah ditaklukkan birahi. Decit kaki-kaki ranjang pun ikut menjerit tak terkendali.
Aventurine merasa Ratio semakin membesar di dalam hingga rasanya napas sangat sukar untuk diraup. Suara pertemuan antar kulit dan kulit yang kian lantang. Ratio mempercepat hentakan, Aventurine merengek kepayahan sambil mencengkram bantal.
“R-Rahh—tio … a-aahn … ngghh — !”
Ratio menggeram rendah. Penisnya merasakan Aventurine kian erat menjepit. Ia hampir tiba, Aventurine juga. Hingga puncak itu menjelma dalam bentuk semburan sperma hangat. Ledakan yang seketika itu pula memenuhi Aventurine sampai tidak tertampung lagi dan meleleh keluar dari lubang analnya.
Persetubuhan mereka berakhir. Ratio menarik dirinya keluar sementara keduanya masih menata kesadaran yang berserakan. Aventurine perlahan membalikkan tubuh sampai netra mereka bertemu dan ia dapat menangkap rupa Ratio yang dibanjiri pula oleh peluh. Bohong kalau Aventurine bilang Ratio tidak terlihat memikat saat ini. Tapi pertaruhan tetaplah pertaruhan. Ia tidak akan kalah.
“Berhenti melihat saya seperti itu, Aventurine.”
“Hee, kenapa? Takut jatuh cinta sama gue, ya?”
“Konyol sekali, kepercayaan dirimu itu.” Dengkus Ratio.
Aventurine terkekeh tidak ambil pusing, “Setiap penjudi pasti begitu,” Ia melanjutkan, “Sudah, ah. Gue mau istirahat. Capek juga ternyata. Selamat malam, Profesorku Sayang.”
Ratio geming sambil memerhatikan Aventurine yang mulai dikuasai kantuk lalu terlelap. Seperti itu dan hanya seperti itu saja cara mereka menyudahi semua ini. Dari banyaknya penyatuan yang terjadi di antara mereka, tidak pernah sekalipun tersemat cumbuan hangat penghantar tidur atau gestur mesra lainnya. Semua sebatas pelampiasan nafsu belaka yang hilang secepat asap ketika sumber api telah padam.
Namun, sedikit hal yang mereka ketahui, tabir pembatas antara fatamorgana dan realita ini telah lama koyak. Sebab hanya dengan provokasi sederhana, segalanya akan luruh meruntuh dan entah sampai kapan mereka akan bertahan.